ALASAN MEMILIH AGAMA BUDDHA
Agama
Buddha merupakan sebuah
agama yang tumbuh
dan berkembang sejak 2600 tahun yang lalu di India. Agama ini boleh dikatakan
sangat kuno. Tetapi yang anehnya banyak orang di dunia yang memilih agama ini. Banyak
umat yang masih bingung menjawab ketika ditanya, “Mengapa Anda memilih Agama
Buddha?” Ada yang menjawab, “Saya memilih agama Buddha karena orang tua saya
juga Buddhist.” Ada lagi, “Karena pacar.” Iya kalau pacarnya baik, kalau tidak?
Bisa putus dan akan meninggalkan Agama Buddha. Ada lagi yang ingin sukses,
sembuh dari penyakit, dan lainnya. Dari
jawaban-jawaban tersebut berarti agama Buddha adalah sebuah tradisi kebudayaan
dan kebutuhan.
Kalau
kita memilih agama ini hanya karena dua jenis tadi, jenis kebudayaan dan
tradisi merupakan sebuah alasan yang tidak tepat. Agama Buddha bukanlah sebuah
tradisi ataupun kebutuhan, tetapi merupakan sebuah pengertian yang benar.
Sekarang apakah pengertian yang benar dalam agama Buddha itu?
Agama
Buddha sebenarnya merupakan agama yang sangat menarik. Sayangnya perkembangan
Agama Buddha di Nusantara ini setelah keruntuhan kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit agak kurang bagus. Bagaikan sebuah barang yang isinya bagus tapi
bungkusnya jelek. Ibarat Anda pergi belanja. Ada sebuah makanan kaleng yang
sangat enak rasanya menurut orang-orang, tetapi kalengnya penyok, bungkusnya
kucel. Apakah Anda akan membelinya walau isinya masih bagus? Tentu saja tidak.
Anda akan memilih jenis yang sama dan kemasannya baik. Tetapi apa yang terjadi
jika itu merupakan satu-satunya? Di tempat lain tidak ada. Anda tentu akan
membelinya karena terpaksa.
Agama
Buddha saat ini seperti makanan enak tapi kemasannya sangat buruk. Apakah
kemasan itu? Kemasan itu adalah tradisi. Apabila agama ini dilihat dengan
kacamata tradisi, maka akan banyak yang salah pengertian. Seperti dalam
melakukan puja bakti kita duduk dibawah. Bagaimana dengan para lansia? Mereka
akan menderita bila duduk dibawah. Apabila mereka tidak memandang dengan pengertian
yang benar, mereka akan berpikir, “Kalau saya duduk di kursi maka saya akan
dapat karma buruk. Lebih baik saya tidak ke vihara.” Pandangan inilah yang
salah. Padahal itu hanyalah sebuah tradisi belaka. Kita tidak mungkin
mendapatkan karma buruk karena duduk di kursi saat puja bakti bukanlah sebuah
perbuatan buruk. Para Bhikkhu saja bila beliau lumpuh di kaki, ia akan
melakukan puja bakti dengan duduk di kursi rodanya.
Jadi
bukan karena bungkusnya yaitu tradisi yang membuat kita tertarik untuk memilih Buddhism
ini. Yang membuat kita memilih Agama Buddha adalah karena Dhamma yang telah
dibabarkan oleh Buddha Gotama. Apabila anda telah menghapal isi dari buku
Paritta Suci yang berwarna biru. Atau buku-buku Dhamma lainnya seperti Tipitaka
atau ceramah dari para Bhikkhu, jangan menganggap diri Anda adalah seorang
Buddhist sejati apabila praktik dari Dhamma itu kosong.
Dhamma
yang baik dan berguna untuk kehidupan kita harus kita lalui dengan tiga tahap,
yaitu :
·
Pariyati
Dhamma
·
Patipati
Dhamma
·
Pativedha
Dhamma
Apa itu
Pariyati Dhamma? Pariyati Dhamma adalah kita mempelajari, kita mendengarkan
Dhamma tersebut. Berasal dari buku-buku Dhamma, Tipitaka, ceramah para Bhikkhu
atau pandita ataupun yang lainnya. Dalam tahap ini yang harusnya kita lakukan
adalah berpikir logis dengan ajaran yang telah dibabarkan itu. Ajaran itu harus
sesuai dengan perkembangan zaman, berlaku untuk siapa saja, mengarah pada
perkembangan batin untuk lebih baik. Seperti contoh tradisi diatas yang
beranggapan bahwa pada saat puja bakti duduk di kursi merupakan sebuah
perbuatan buruk yang menghasilkan karma buruk. Kita dapat mencari referensinya
dalam Sutta Pitaka bagian Samyuta Nikaya tentang Samuddaka Sutta 11.10;227
dijelaskan bahwa,
”Apa pun benih yang ditanam, itulah buah yang
akan dipetik; pelaku kebaikan memetik kebaikan; pelaku kejahatan memetik
kejahatan. Olehmu, Teman, benih telah ditanam. Dengan demikian, engkau akan
memetik buahnya.”
“O, Bhikkhu, kehendak untuk beruat (cetana)
itulah yang aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang berbuat melalui
pikiran ucapan dan badan jasmani” (AN III:45)
Sesuai
petikan dari referensi SN dan AN tadi telah jelas dikatakan bahwa yang
dinamakan kamma adalah niat. Orang tua itu tidak ada niat (cetana) buruk
sehingga tidak mungkin disebut perbuatan buruk yang menghasilkan buah yang
buruk.
Tahap
ke-dua adalah Patipati Dhamma. Tahap inilah yang menunjukan kualitas seseorang.
Tahap ini berhubungan dengan praktik. Apabila seseorang telah paham dan
mengerti Dhamma walau hanya tentang kamma, ia akan mempraktekannya dengan
sungguh-sungguh seperti melakukan dana, menjaga Silanya dengan baik, dan
mepraktikan Bhavana (meditasi). Walau hanya satu materi yang ia pelajari dan
pahami, pada saat praktik mencakup semua ajaran yang telah dibabarkan Sang
Buddha.
Karena
seseorang telah mempelajari, mempraktikan dan pada akhirnya ia akan menerima
buah dari apa yang telah ia lakukan. Inilah tahap terakhir dalam pembelajaran
Dhamma yaitu Pativedha Dhamma. Inilah Magga (jalan; Ariya Atthangika Magga),
dan Phala (tingkat kesucian), serta Nibbana.
Ajaran
yang telah dibabarkan Sang Bhagava berbeda dari ajaran agama lain. Di mana
agama lain selalu mengajarkan kebahagiaan sedangkan Agama Buddha mengajarkan
tentang yang namanya penderitaan, ketidak-kekalan, dan kekosongan yang di mana
tiga corak ini sangat nyata. Sang Buddha mengetahui bahwa tiga puluh satu alam
kehidupan ini terdiri dari sukha (kebahagiaan) dan dukkha (penderitaan).
Apabila beliau hanya menerangkan tentang kebahagiaan para umat memang akan
berbahagia, tetapi apabila para umat sedang silanda dukkha mereka akan meratap,
dan menderita karenanya. Oleh karena itu Sang Buddha mengajarkan tentang dukkha
jika para umat mendapatkan penderitaan mereka dapat berkata, “Oh, inilah
dukkha. Dukkha ini anicca (tidak kekal). Kebahagiaan akan segera datang.”
Apabila mereka mendapatkan kebahagiaan, mereka akan berkata, “Oh inilah
kebahagiaan. Kebahagiaan ini pun tidak kekal. Saya harus waspada akan
penderitaan yang segera datang.”
Tidak
hanya mengajarkan dukkha, tetapi Sang Buddha pun menjelaskan sebab-sebab adanya
penderitaan yaitu adanya Tanha atau nafsu keinginan yaitu Lobha atau
keserakahan, Dosa atau kebencian, dan Moha atau kebodohan batin. Setelah
menjelaskan adanya dukkha dan sebabnya, Sang Bhagava memberitahukan bawha ada
lenyapnya dukkha itu yang disebut Nibbana. Buddha pun memberitahukan sebuah
cara untuk mencapai Nibbana itu dengan Ariya Atthangika Magga atau jalan mulia
berunsur delapan.
Pada intinya kita
memilih agama Buddha bukan karena keturunan, bukan karena tradisi, bukan karena
ingin sehat, cepat kaya atau dapat jodoh. Kita harus meninggalkan
tradisi-tradisi yang tidak perlu. Alasan kita memilih agama Buddha adalah
karena kita ingin bahagia. Buddha telah mengajarkan bahwa hidup ini adalah
dukkha yang disebabkan oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin. Akan
tetapi beliau juga menunjukan adanya ketiadaan dukkha yang disebut Nibbana dan
jalan untuk menuju Nibbana itu sendiri dengan Ariya Atthangika Magga atau jalan
mulia berunsur delapan.
Comments
Post a Comment